Suatu ketika saya bertanya kepada murid-murid di kelas ketika saya sedang PPL. “Siapa guru favorit kalian?”, secara serentak mereka menyebutkan nama salah satu guru di sekolah mereka. “Kenapa kalian suka guru tersebut?” lanjut saya. “Ya karena ngajarnya enak” jawab mereka. “Enak itu seperti apa?” tanya saya lagi. “Enak, tidak pernah marah-marah. Tidak memberi tugas yang membebani, pengertian kepada kami. Enaklah pokoknya”.
Dari cerita tersebut saya mengambil pelajaran bahwa para murid lebih suka dimengerti. Murid-murid mengidamkan guru yang bisa memahami kebutuhan mereka. Guru yang pengertian sehingga mereka tidak perlu takut untuk mengatakan bahwa mereka belum bisa atau belum paham. Guru yang tidak mudah marah karena muridnya tidak mengerjakan tugas, tetapi mencari tahu kenapa tugas yang diberikan tidak dikerjakan. Guru yang bisa digugu dan dituru serta bisa menjadi teman baik bagi murid.
Menjadi guru bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, bahkan bisa dikritisi tidak semua yang mengajar di kelas adalah guru, tapi bisa saja hanya sekedar pengajar. Menjadi guru harus memiliki kualifikasi, kompetensi serta keterampilan tertentu untuk menjadi pendidik yang profesional. Menurut Ki Hajar Dewantara guru harus bisa menjadi sosok yang Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi contoh), Ing madyo mangun karso (di tengah memberi semangat), dan Tut wuri handayani (di belakang memberi daya kekuatan). Beratnya peran seorang guru harus dibarengi dengan pelatihan dan motivasi yang kuat agar para guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Melalui kurikulum merdeka, pemerintah sedang menggalakkan program merdeka belajar. Konsep ini digadang-gadang menjadi solusi atas permasalahan pendidikan di Indonesia. Kurikulum merdeka memberikan keleluasaan kepada guru dalam mengajar. Guru bisa lebih fleksibel untuk melakukan pembelajaran yang berdiferensiasi sesuai kemampuan peserta didik. Guru juga bisa mengembangkan soft skill peserta didik melalui pembelajaran berbasis proyek dan pengalaman proyek penguatan profil pelajar pancasila. Selain banyak kemudahan dari kurikulum ini, tuntutan administratif yang harus dipenuhi guru tetaplah banyak. Di sisi lain kesejahteeraan guru di Indonesia masih tergolong rendah. Persatuan Guru Republik Indonesia dalam wawancaranya dengan tim Republika (2017) menyebutkan bahwa masih terdapat banyak masalah kesejahteraan guru di Indonesia. Ada sekitar satu juta guru yang hidup di bawah kata sejahtera. Angka yang cukup besar bagi profesi yang memegang peran penting dalam membentuk generasi bangsa.
Timothy D. Walker seorang berkebangsaan Amerika yang tinggal dan menjadi guru di Finlandia menulis buku berjudul Teach like Finlandia. Buku ini menceritakan bagaimana para guru di Finlandia menjalani profesinya dengan baik dan menghasilkan murid-murid yang mampu mengungguli murid dari negara lain dalam Tes PISA (Program for International Student Assesment). Melalui buku ini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana strategi para guru di Finlandia menumbuhkan kesejahteraan secara internal untuk memaksimalkan perannya.
Menurut penelitian dalam buku tersebut, menunjukkan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari kesuksesan tetapi kunci dari kesuksesan. Hal ini yang menjadikan kesejahteraan sebagai faktor utama yang harus dipertimbangkan di sekolah. Guru-guru di Finlandia sangat memahami kebutuhan istirahat, tidak hanya untuk murid tetapi juga untuk dirinya sendiri. Murid di Finlandia mendapatkan istirahat 5 menit setiap 45 menit pelajaran, serta 15 menit untuk jam istirahat. Menurut Levitin (Walker, 2017) menyatakan bahwa memberikan otak waktu untuk beristirahat, melalui jeda yang teratur akan mengarah pada produktivitas dan kreativitas yang lebih besar. Istirahat bagi para guru di sana juga terbilang cukup dengan tidak adanya beban administratif yang terlalu banyak yang harus dikerjakan para guru di Finlandia. Mereka memanfaatkan waktu istirahat di sekolah untuk berkolaborasi dengan teman sejawat.
Strategi selanjutnya adalah menyederhanakan ruang. Di kelas-kelas Finlandia para guru cenderung untuk tidak banyak menempelkan sesuatu pada dinding kelasnya. Mereka mempercayai bahwa mengurangi rangsangan eksternal di dalam kelas sebagai upaya untuk membuuat para siswa dapat lebih fokus. Menyederhanakan ruang mampu membuat nyaman penghuninya. Selain itu, kebutuhan untuk menghirup udara segar sangat diperhatikan di Finlandia. Hal ini untuk meningkatkan kesejahteraan dan proses belajar yang lebih baik di dalam kelas. Salah satu cara yang dilakukan guru di sana adalah dengan belajar di alam. Bermain di alam sambil belajar tidak hanya membuat pembelajaran menjadi bermakna, namun guru juga dapat menjadikannya sebagai sarana rekreasi dan memulihkan tenaga.
Untuk mendapatkan suasana belajar yang kondusif guru membuat Anchor charts (Aturan pokok), yaitu sebuah aturan kelas yang dibuat oleh guru dan murid yang disepakati bersama. Umumnya aturan ini memuat tiga hal pokok yaitu hormati diri sendiri, hormati orang lain, dan hormati lingkungan. Dari ketiga hal pokok tersebut murid akan menurunkan menjadi aktivitas-aktivitas di kelas seperti kelas nyaman, tenang, dan tidak berantakan.
Finlandia mengajarkan bahwa bekerja keras tanpa mempertimbangkan kesejahteraan diri merupakan sesuatu yang keliru. Memperhatikan kesejahteraan diri, kesejahteraan siswa, serta kesejahteraan teman seprofesi akan mampu menciptakan harmoni yang baik dalam suatu sekolah. Finlandia juga memperlihatkan bagaimana guru memaksimalkan waktu untuk berkolaborasi. Dari 15 menit waktu istirahat yang mereka gunakan untuk saling bercengkerama menghasilkan pandangan bahwa kolaborasi bukan sebagai sesuatu yang mewah, namun kolaborasi adalah kebutuhan. Dari Finlandia kita juga belajar bahwa kesejahteraan bukanlah sekedar gaji namun keadaan yang membuat para guru merasa aman, nyaman, dan diperhatikan kebutuhan psikologisnya.
Daftar Pustaka
Walker, D. Timothy. 2017. Teach Like Finlandia. Jakarta: Grasindo
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/11/25/ozxtz5384-pgri-kesejahteraan-guru-masih-banyak-masalah (diakses 21 November 2022)