Cerita tentang pondok pesantren tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Kisah tentang pengalaman mondok mulai dari susah sampai senangnya selalu menarik untuk didengar. Perasaan rindu rumah, capek dengan banyaknya kegiatan, sulitnya hafalan, hingga rasa senang memiliki banyak teman yang sudah seperti keluarga adalah hal-hal lumrah bagi seorang santri.
Hal itu juga terjadi pada saya. Saya belajar di pondok pesantren sejak SMA hingga setelah lulus kuliah. Saat SMA saya belajar di salah satu pondok pesantren yang ada di Kabupaten Demak. Pesantren ini menggabungkan konsep salaf dan modern. Hal itu membuat kegiatan para santri menjadi sangat padat.
Setiap hari kami harus bangun sebelum subuh untuk antri mandi. Dan karena pondok saya dulu berada di daerah yang sulit air, kami para santri dibiasakan untuk sebisa mungkin menghemat air. Tidak jarang bagi santri yang bangun kesiangan harus rela menimba air dari sumur terlebih dahulu untuk bisa mandi. Uniknya keterbatasan akses air ini tidak menjadikan para santri putus asa dan enggan mondok. Justru di kemudian hari, saya dan teman-teman santri lain merasa menjadi seorang yang sangat menghargai air karena teringat betapa susahnya kami mendapatkan air saat di pondok dulu.
Kegiatan pagi diawali dengan jamaah subuh. Di pondok saya, ada dua waktu jamaah yang terkesan berbeda dari waktu sholat lain. Yaitu waktu jamaah sholat subuh dan jamaah sholat maghrib. Kenapa berbeda? Karena dua waktu jamaah ini wajib diikuti oleh semua santri dan hukuman bagi yang melanggar adalah denda satu karung semen, salah satu kategori hukuman yang cukup berat. Perbedaan lain yang juga menjadi keistimewaan dari dua waktu jamaah ini adalah imam sholat membaca satu halaman al quran setelah surat fatihah pada rakaat pertama dan kedua. Pembacaan satu halaman al quran ini runtut dari juz 1 hingga juz 30. Alhasil waktu jamaah terasa lebih lama dari waktu solat lainnya, tetapi juga menjadi kesakralan tersendiri yang dirasakan oleh para santri.
Setelah jamaah subuh para santri sudah rapi mengantri untuk mengaji al quran secara sorogan kepada abah kyai. Sorogan adalah metode belajar dimana santri menghadap satu persatu kepada gurunya. Dengan jumlah ratusan santri yang harus mengaji sorogan kepada abah kyai atau ibu nyai, ngaji bakda subuh biasanya baru selesai menjelang setengah tujuh atau pada saat santri harus berangkat sekolah formal.
Setelah pulang sekolah kami mengikuti madrasah diniyah yang dimulai pada pukul dua siang. Kami mempelajari berbagai bidang ilmu agama seperti nahwu, shorof, tajwid, tauhid, fiqih, akhlaq dan lain sebagainya. Pada saat madrasah diniyah ini kami diharuskan hafalan nadzom imrithi. Hafalan nadzom ini juga menjadi syarat pulang bagi santri pada saat libur semester. Jadi tidak ada alasan bagi santri untuk tidak hafalan, karena jika tidak hafal berarti tidak bisa pulang, hehe.
Sore hari setelah selesai madrasah dan jamaah ashar, bagi santri kelas SMA sederajat masih ada kegiatan ngaji kitab bandongan hingga menjelang maghrib. Bandongan merupakan metode belajar dimana guru membacakan kitab dan maknanya, santri mendengarkan sambil menuliskan makna di kitabnya menggunakan huruf arab pegon. Setelah itu dilanjutkan dengan jamaah maghrib seperti yang sudah saya ceritakan di awal.
Setelah jamaah maghrib santri kembali mengaji alquran. Bagi santri tahun pertama wajib hafalan juz amma/juz 30. Sebelum mulai setoran juz 30, santri baru akan diajari makhorijul huruf melalui surah Fatihah terlebih dahulu oleh santri yang lebih senior. Biasanya pelajaran fatihah ini akan memakan waktu cukup lama hingga berbulan-bulan karena fase ini para santri digembleng untuk bisa melafalkan makhorijul huruf dengan benar. Dan ini menjadi fondasi bagi santri untuk membaca al quran dengan baik. Proses mengaji al quran ini menjadi salah satu kenangan paling istimewa bagi para santri. Bagaimana susahnya mereka melafalkan huruf-huruf hijaiyah, sulitnya mereka untuk menghafal surah-surah, suasana sakral saat maju setoran, menangis karena gagal naik atau pindah surah, dan masih banyak lagi cerita beratnya perjuangan saat mengaji al qur an.
Namun semua itu terbayar ketika kami ditetapkan sebagai peserta khotimat al quran atau bisa dikatakan lulus ujian al quran. Belum lengkap rasanya bagi santri jika belum pernah menjadi peserta khotimat dalam haflah khotmil quran karena kegiatan ini tidak dinilai berdasarkan kelas atau tahun masuk tetapi melalui hafalan dan ujian al quran yang harus dijalani. Jadi bagi santri yang belum memenuhi syarat tidak bisa menjadi peserta khotimat meskipun sudah santri kelas akhir sekalipun.
Selain kegiatan rutin harian, ada pula kegiatan yang dilakukan seminggu sekali, misalnya kegiatan khitobah. Kegiatan ini diadakan tiap malam jumat. Santri digilir untuk mengisi acara khitobah baik sebagai pembicara, mc, atau kadang juga memerankan drama maupun baca puisi. Kegiatan ini menjadi ajang bagi santri untuk melatih kemampuan bicara di depan umum atau bahasa kerennya publick speaking. Selain itu kegiatan ini juga sekaligus melatih mental para santri untuk berani tampil di depan umum. Jadi jangan dikira santri hanya bisa mengaji saja, berbagai kemampuan soft skill juga dipelajari oleh para santri.
Ada pula kegiatan syawir yang berarti musyawarah. Biasanya ada satu topik permasalahan yang akan dibahas saat syawir. Peserta syawir akan mempersiapkan materi untuk berargumen dalam diskusi tersebut. Kegiatan ini serupa dengan diskusi-diskusi ilmiah di kampus atau lembaga Pendidikan lainnya, bedanya topik yang dibahas adalah seputar permasalahan agama saja. Dari kegiatan ini santri dilatih untuk bisa berargumen dari ilmu-ilmu yang sudah dipelajarinya.
Diantara padatnya kegiatan yang sudah saya ceritakan terdapat rasa bosan, lelah dan rindu rumah yang dirasakan oleh para santri. Jauh dari keluarga menuntut santri untuk bisa hidup mandiri. Saat di rumah mungkin banyak anak-anak yang kebutuhannya selalu dilayani oleh orangtunya, tetapi dengan hidup di pondok pesantren santri belajar memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Seperti mencuci pakaian, membersihkan kamar, mengantri makan, membersihkan alat makan dan masihh banyak lagi. Belajar hidup sederhana dan makan apa adanya menjadi bekal hidup yang sangat berharga bagi para santri. Dengan banyaknya keterbatasan saat di pondok menjadikan para santri anak-anak yang kreatif dan memiliki kemampuan bertahan dalam situasi apapun.
Menjadi santri juga sama halnya dengan belajar menjadi manusia yang disiplin. Melalui jadwal rutin yang harus dilaksanakan oleh para santri secara tidak langsung membangun kebiasan disiplin dalam diri para santri. Disiplin merupakan sikap baik yayng hanya bisa dibentuk melalui pembiasaan. Dan pembiasaan baik itu diperoleh santri melalui pondok pesantren.